Kamis, 07 Oktober 2010



 
Kamis, 05 Agustus 2010 , 13:00:00
 
BERTAHAN: Pengrajin di bengkel Didih Kampung Bojong, RT 04/04, Desa Tarikolot, Citeureup, sedang membuat kompor mitan.
Kebijakan pemerintah pusat mengonversi minyak tanah (mitan) ke gas, membuat para pengrajin kompor mitan di wilayah Kecamatan Citeureup gulung tikar. Namun, siapa sangka, ada home industry kompor mitan yang masih bertahan hingga kini. Ya, pemiliknya bernama Didih (48), warga Kampung Bojong, RT 04/04, Desa Tarikolot, Kecamatan Citeureup.

Laporan:Rico Afrido Simanjuntak

KEMARIN, wartawan koran ini mendapat tugas liputan di wilayah Citeureup. Ketika menyambangi kawasan Kampung Bojong, RT 04/04, Desa Tarikolot, Kecamatan Citeureup, terdengar keras bunyi seng seperti dipukul-pukul. Setelah ditelusuri, sumber suara ternyata berasal dari sebuah rumah warga tak jauh dari kantor desa.

Di rumah tersebut, nampak lima orang pria dewasa tanpa mengenakan baju, tengah memukul-mukul seng. Ternyata, mereka adalah para pengrajin kompor mitan yang masih bertahan hingga kini, meski pemerintah telah melakukan konversi dari mitan ke gas.

Salah satu dari lima orang pria tersebut adalah pemilik home industry kompor mitan bernama Didih (48) atau dikenal dengan sapaan mang Didih. Sosok bapak tujuh anak itu cukup dikenal di lingkungan Desa Tarikolot. Sehingga, untuk mencapai tempat pembuatan kompor mitan miliknya, cukup bertanya kepada warga di sekitar Jalan Desa Tarikolot.

Mang Didih beserta para pengrajinnya memang patut diberikan apresiasi. Betapa tidak, meski harus banting tulang pagi hingga sore dan jarang sekali ada permintaan kompor mitan, mereka masih bisa tersenyum.

Mang Didih pun mempersilakan wartawan koran ini melihat-lihat bengkelnya yang sederhana. Berada di bengkel berukuran 8 x 6 meter persegi, beralaskan tanah dan tak ada plafon itu, memang cukup panas. Pantas saja para pengrajin tak memakai baju.

Setelah melihat-lihat, mang Didih mulai bercerita tentang perjalanan usahanya membuat kompor mitan. Pada 1980 silam, merupakan awal ia mulai menapaki usaha tersebut. “Awal memulai usaha, saya tak punya modal cukup,” ujar Didih sambil tertawa lepas.

Modal awal diperolehnya dengan cara pinjam uang sanasini. “Pokoknya nekat aja lah. Kalau belum dicoba kan kita tak tahu juga ke depannya seperti apa,” imbuhnya.

Setelah memperoleh pinjaman, ia pun mulai membuka usaha. Perlahan tapi pasti, usahanya terus berkembang hingga tujuh anaknya bisa menyelesaikan sekolah STM dan SMA.

“Biarin saya yang bersusahsusah, yang penting pendidikan anak terjamin. Tidak seperti saya cuma lulusan kelas satu SD,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar