Jumat, 08 Oktober 2010

Jum'at, 24 September 2010 , 10:40:00
Melihat Produksi UKM Celana Jeans Sukamakmur (1)
Bahan dari Jakarta, Diekspor ke Nigeria


Kreativitas warga Kampung Jogjogan, Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur, patut diapresiasikan. Betapa tidak, limbah celana jeans Levi’s yang tadinya tak berguna, disulap menjadi suatu yang bermanfaat. Seperti apa?

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

SUKAMAKMUR merupakan kecamatan hasil pemekaran dari Jonggol yang berada di perbukitan. Untuk mencapai daerah tersebut, dibutuhkan perjalanan sekitar dua jam dari Kecamatan Citeureup.

Kondisi jalan yang berkelok dan naik turun, membuat kita harus ekstra hati-hati. Kendati begitu, pemandangan alamnya cukup menakjubkan. Hamparan persawahan yang hijau berbentuk terasering, banyak dijumpai di sana. Sesampainya di wilayah Sukamakmur, tepatnya di Kampung Jogjogan, Desa Wargajaya, suasana terlihat sepi. Waktu baru menunjukkan pukul 10:35, namun cuaca pada saat itu cukup panas.

Ketika menyambangi salah satu rumah warga di sana, wartawan koran ini langsung disambut senyuman seorang ibu tiga anak, Maryani (25).

Sambil berbincang-bincang, ia terlihat sibuk menjahit. Ketika ditanya, pekerjaannya itu merupakan tugas dari Usaha Kecil Menengah (UKM) Konveksi di kampungnya, membuat celana jeans dari limbah celana Levi’s.

Ya, UKM Konveksi merupakan home industry yang bergerak di bidang busana, tepatnya celana panjang. Patut diberi apresiasi memang, karena UKM Konveksi mengolah limbah celana jeans Levi’s menjadi celana jeans yang bermanfaat dan bernilai. “Membuatnya di rumah warga masingmasing. Nanti, kalau sudah selusin disetor ke UKM Konveksi,” ujarnya.

Tiap lusinnya, celana jeans yang ia buat, dihargai Rp30 ribu. Sedikitnya, 60 KK di Kampung Jogjogan bekerja sebagai buruh di UKM Konveksi itu. Tugasnya berbeda-beda. Ada yang menjahit, membuat pola, menggunting dan sebagainya.

Sementara itu, pemilik UKM Konveksi, Asep Hendra (39) mengatakan, bahan-bahan limbah celana jeans Levi’s didapat dari daerah Cikunir Jakarta. “Selain ke Jakarta, celana jeans buatan kami diekspor ke Nigeria,” imbuhnya. (*)
Senin, 19 Juli 2010 , 13:49:00
Pasirmukti, Desanya Siaga Narkoba (3-Habis)
Pengawasan Diperketat, RY Tuntut Komitmen Warga


KEPSEn: ROMPI: Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf tengah memasangkan rompi kepada anggota satgas antinarkoba, pada peresmian Desa Siaga Narkoba Pasirmukti, 13 Juli lalu.
Peredaran narkotika di Bogor masuk dalam kategori salah satu yang tertinggi di Jawa Barat. Itu sebabnya, Badan Narkotika Kabupaten (BNK) begitu serius dengan pencegahan dan penyebaran narkoba di wilayah Kabupaten Bogor. Sehingga, Desa Pasirmukti dicanangkan menjadi Desa Siaga Narkoba pada 13 Juli lalu.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Berdasarkan data Badan Narkotika Provinsi (BNP), Jawa Barat menempati urutan ketiga peredaran narkoba di Indonesia setelah Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Hal itu disebabkan karena kurangnya pengawasan dari masyarakat, sehingga pengedar narkoba dapat dengan leluasa melakukan operasinya. Kondisi itulah yang mendasari mengapa Desa Pasirmukti dicanangkan sebagai Desa Siaga Narkoba di Kabupaten Bogor.

Melalui pencanangan tersebut, Bupati Bogor Rachmat Yasin (RY), mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengharamkan narkoba di Kabupaten Bogor.

Sebagai wilayah yang pernah menjadi titik produksi narkoba secara nasional, kata RY, kini saatnya seluruh komponen masyarakat harus memiliki komitmen. “Dengan letak wilayah yang berdampingan dengan Jakarta, membuat kita seringkali dijadikan sebagai tempat penyebaran narkoba. Karena itu, kita harus tunjukkan komitmen untuk mengata kan tidak pada penyalahgunaan narkoba. Tidak ada masyarakat yang ingin desanya jadi tempat penyebaran narkoba,” tuturnya.

RY pun mengakui kerentanan wilayahnya itu. Dibuktikan dengan beberapa kejadian penggerebekan tempat produksi narkoba. Mulai dari penggerebekan di perkebunan sawit Cariu, Cileungsi, pabrik sabu di Gunungputri hingga yang terakhir penggerebekan peredaran 10 kilogram ganja kering di Citeureup.

Menurut dia, dampak peredaran narkoba saat ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data statistik pada 2008/2009, angka kematian yang disebabkan narkoba per harinya mencapai 40 jiwa di Indonesia. Artinya, lanjut dia, dari jumlah penduduk Indonesia saat ini, ada sekitar dua persen orang yang terkena narkoba. “Kalau di Kabupaten Bogor ada 4,7 juta jiwa, artinya di Kabupaten Bogor ada sekitar 20.000-an orang yang terkena narkoba, dan 60 persennya terkena HIV AIDS,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan bahwa peredaran narkoba di Indonesia merupakan nomor satu di dunia saat ini. “Katanya narkoba di Indonesia itu lebih nendang. Selain itu bahan produksinya juga sudah sering diekspor. Maka dari itu perlu diberantas,” tegasnya.(*)
Sabtu, 17 Juli 2010 , 12:29:00
Pasirmukti, Desanya Siaga Narkoba (2)
Kerahkan Seratus Satgas, Monitoring Tiap Wilayah


Selain konsen mencegah penyebaran narkoba, terpilihnya Desa Pasirmukti sebagai Desa Siaga Narkoba, juga karena pemerintah dan masyarakatnya dinilai peduli pada program pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN).

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Desa Pasirmukti, Kecamatan Citeureup, merupakan desa yang subur dan kaya akan panorama alam. Di desa itu, terdapat sebuah tempat wisata bernama Kebun Wisata Pasirmukti, yang digunakan untuk memberikan pengenalan dan pengetahuan pertanian bagi pengunjung, khususnya generasi muda Indonesia.

Siapa sangka, Desa Pasirmukti juga merupakan daerah yang peduli terhadap pencegahan dan penyebaran narkoba, yang diimplementasikan pada program P4GN. Tak heran, di desa itu terdapat sebuah posko pengamanan, bukan posko siskamling ataupun satpam, melainkan posko Desa Siaga Narkoba.

Posko tersebut berada di Kampung Pasirangin RT 03/04, Desa Pasirmukti, Kecamatan Citeureup, yang berfungsi sebagai pusat kegiatan pencegahan dan penyebaran narkoba.

Untuk menjalankan program tersebut, dibentuklah satgas narkoba. Dan sudah terpilih seratus personel. Pada hari peresmian Desa Siaga Narkoba pada 13 Juli lalu, para satgas yang merupakan relawan dari tiap desa se-Kecamatan Citeureup itu, langsung mendapat penyuluhan dari Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat.

Satgas tersebut akan bertugas mencegah peredaran narkoba di wilayah Pasirmukti, dengan mengadakan monitoring tiap wilayah. Kemudian, melaporkan perkara yang ditemukan ke pihak berwajib.

Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Bogor Nurhayanti, tingkat kerawanan penyebaran narkoba di Desa Pasirmukti, cukup tinggi. Karena dekat dengan ibukota Kabupaten Bogor dan Jakarta.

“Makanya, pencanangan dan pembinaan Desa Siaga Narkoba ini, diharapkan dapat meningkatkan imunitas warga, membangun jejaring masyarakat, serta mampu meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan kewaspadaan terhadap peredaran narkoba,” tuturnya. (ico)
Jum'at, 16 Juli 2010 , 13:39:00
Pasirmukti, Desanya Siaga Narkoba (1)
Terpilih karena Konsen Cegah Penyebaran Narkotika


Jangan harap, pengedar narkoba bisa berkeliaran di Desa Pasirmukti Kecamatan Citeureup. Pasalnya, tepat pada 13 Juli kemarin, desa tersebut resmi menjadi Desa Siaga Narkoba.

Laporan : Rico Afrido Simanjuntak

Pagi itu tepat pukul 08:00 WIB, pelajar dengan pakaian pramuka berbaris rapi berhadap-hadapan pada sebuah gang, di Kampung Pasir Angin RT 03/04, Desa Pasirmukti, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Mereka berjumlah sekitar puluhan orang. 50 meter dari barisan pelajar, berkumpul ratusan warga.

Setelah dicari tahu, ternyata mereka tengah menunggu rombongan Wakil Gubernur (wagub) Jawa Barat Dede yusuf, dan Bupati Bogor Rachmat Yassin yang akan berkunjung ke kampung mereka.

Tepat pukul 09:00 rombongan pun tiba, dan langsung disambut persembahan musik marawis dari barisan pelajar. Teriakan dari warga pun muncul ketika wagub beserta rombongan berjalan menuju bangku yang telah tersedia.

Kedatangan wagub yang juga sebagai Ketua Umum Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat itu, ternyata untuk meresmikan Desa Pasirmukti Kecamatan Citeureup sebagai Desa Siaga Narkoba.

Dalam kesempatan itu, wagub yang juga sebagai Ketua Umum Badan Narkotika Propinsi (BNP) Jawa Barat, merasa bahagia karena Kabupaten Bogor mampu menunjukkan konsistensinya pada pencegahan penyebaran Narkoba.

Apalagi, katanya, Provinsi Jawa Barat masuk dalam tiga besar peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) di Indonesia. Sementara Kota dan Kabupaten
Bogor, masuk dalam kategori wilayah dengan tingkat peredaran narkoba tertinggi di Jabar.

Kondisi ini, kata wagub, harus disikapi secara serius jika tidak mau generasi muda di Jabar hancur hanya kerena barang haram itu. “Data yang kami dapat, Jabar menempati daerah ketiga di Indonesia untuk peredaran narkoba setelah Sumatera Utara dan DKI Jakarta,” ujarnya.

Kondisi ini, tambahnya, harus disikapi juga oleh pucuk pimpinan di Kota dan Kabupaten Bogor. Makanya, bertepatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh BNP tersebut, Pemprov Jabar mencanangkan Desa Pasirmukti Kabupaten Bogor sebagai Desa Siaga Narkoba.

“Peredaran narkotika di Bogor masuk dalam kategori salah satu yang tertinggi di Jabar. Karena itu. Kabupaten Bogor dan dua daerah lainnya di Jabar dicanangkan sebagai sasaran program desa siaga narkoba,” ujar Wagub.(*)

Kamis, 07 Oktober 2010



Kamis, 16 September 2010 , 10:10:00
 

POPULASI : Beberapa ekor rusa tampak bergerombol dalam kawasan penangkaran WWTPR.
Keberadaan populasi rusa di Wisata Taman Pendidikan Rusa (WWTPR)
Tanjungsari, tidak hanya bisa dinikmati sebagai objek wisata. Jika
populasinya meningkat atau berlebih, rusa-rusa tersebut bisa diperjual belikan.

Laporan : Rico Afrido Simanjuntak

KEDENGARANNYA aneh memang. Tapi rusa di WWTPR memang boleh
dibeli melalui Perhutani Bogor. Saat ini rusa-rusa di WWTPR berjumlah 64 ekor.

Pertanyaannya, apakah rusa yang dibeli itu untuk dikonsumsi? Penjaga dipenangkaran
rusa ini juga tak mengetahuinya. Yang pasti, mereka mengaku tak mau menyembelih dan
memakannya. "Bagi yang tertarik membeli bisa menghubungi Perum Perhutani KPH
Bogor," ujar Asisten Pengelola Penangkaran Rusa WWTPR, Agus Suprianto.

Untuk harga, menurutnya bervariasi. Antara dua hingga lima juta per ekor. "Tergantung
dari jenis, umur dan berat badan rusa. Yang termahal adalah Rusa Totol, harganya bisa
mencapai Rp10 juta per ekor," tutur Agus.

Sayang memang jika rusa-rusa tersebut diperjual belikan. Karena cukup menarik jadi
objek wisata. Apalagi tingkah polanya. Bukan hanya kepada para penjaga, kepada
wartawan koran ini pun, rusa-rusa itu begitu jinak.

Ketika didekati, rusa-rusa itu tanpa ragu mendekat seolah meminta makan. menyenangkan,
ketika memberikan makan rusa dengan tangan sendiri.

Makanan kesukaan hewan herbivora ini yakni buah-buahan manis. Mereka akan antusias
mendekat jika dipanggil sambil mengacungkan sekepal buah-buahan. “Setiap harinya,
rusa-rusa tersebut diberi makan ubi jalar dan dedak. Masing-masing 60 kilogram
per hari,” tutur Agus.

Uniknya, menurut dia, rusa di WWTPR takut dengan pengunjung berpakaian dokter.
Rusa-rusa di sini (WWTPR, red) kata Agus, akan sontak berlarian menjauh, jika
ada orang atau pengunjung dengan pakaian putih-putih ala dokter.

“Mungkin karena mereka (rusa, red) sering dikejar-kejar dokter hewan yang rutin
berkunjung ke sini (WWTPR, red) untuk disuntik.

Jadi pada takut kalau melihat orang berpakaian seperti dokter,” kata Agus sambil
tersenyum.

“Jadi, jika ingin memberi makan rusa, jangan berpakaian mirip seorang dokter.
Dijamin rusanya bakal lari bersembunyi di antara semak semak,” katanya. (*)


 
Rabu, 15 September 2010 , 13:03:00
 
Lokasi Wana Wisata Taman Pendidikan Rusa (WWTPR) di Desa Buanajaya, Kecamatan Tanjungsari cukup layak menjadi habitat rusa. Karena suhu udaranya cocok dengan kehidupan hewan tersebut, yakni minus 20 sampai 30 derajat celsius pada ketinggian 200\500 mdpl. Namun sayang, hingga kini tempat tersebut masih sepi pengunjung.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Lokasi penangkaran rusa WWTPR ini dekat dengan lahan kosong seluas sepuluh hektare milik pengacara senior, Adnan Buyung Nasution. Jika berjalan menuju penangkaran dari loket masuk, pengunjung pasti melewati lahan kosong yang digarap warga sekitar. Lahan itulah yang dimiliki pengacara kondang tersebut.

Lokasi penangkaran pun cukup menyegarkan mata. Betapa tidak, ketika mendekati penangkaran, tampak hamparan lapangan hijau yang luas dengan latar belakang pegunungan. Rimbunan pepohonan menambah sejuk suasana penangkaran.

Selain lahan tempat tinggal rusa, di WWTPR masih ada dua hektare lahan yang dikhususkan untuk penanaman atau pemeliharaan rumput, deposit makanan utama rusa.

Selain itu, masih ada lagi dua hektare lahan yang bisa digunakan untuk berkemah atau melakukan aktivitas wisata alam lain bagi para pengunjung. Seperti, outbond, flying fox, tenda dan camping ground.

Sebelumnya, ketika menuju lokasi penangkaran, pengunjung harus melewati sebuah anjungan bambu dengan panjang sekitar 60 meter dan berakhir pada sebuah gazebo.

Sungguh pemandangan yang indah. Berada di atas anjungan melihat rusa-rusa yang berkumpul di lapangan hijau dengan latar belakang pegunungan.

Ketika, wartawan koran ini menyambangi lokasi, seorang asisten pengelola penangkaran, Agus Suprianto (32), nampak membawa karung ubi sambil mengeluarkan suara aneh dari mulutnya. “Nguk, nguk, nguk, nguk....”.

Rusa-rusa yang tadinya tengah beristirahat, langsung mendekati Agus di luar penangkaran.

Ubi-ubi dalam karung pun disebar dan langsung dimakan rusa-rusa itu. "Ubi ini hanya makanan tambahan," kata Agus.

WWTPR buka mulai pukul 07:30 hingga 17:00. Namun sayang, selalu sepi pengunjung. Ketika ditanya jumlah tiap harinya, Agus mengatakan hampir tak ada pengunjung jika di hari biasa.

"Adapun pengunjung yang datang mayoritas dari Jakarta, Cianjur dan Bekasi, itu juga tak banyak. Minggu saja, rata-rata sekitar sepuluh orang," pungkasnya. (*)


 
Selasa, 14 September 2010 , 13:18:00
 
Penangkaran rusa di Desa Buanajaya, Kecamatan Tanjungsari ini tak banyak diketahui orang. Lokasinya sepi dan jauh dari keramaian. Padahal, penangkaran tersebut sudah ada sejak 1993.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Wartawan koran ini berkesempatan mengunjungi Wana Wisata Taman Pendidikan Rusa (WWTPR) di daerah Tanjungsari, Kabupaten Bogor, kemarin. Meski lokasinya cukup jauh, jalur yang dilalui sudah lumayan bagus.

Untuk menuju lokasi penangkaran milik Perhutani Bogor itu, pengunjung dapat melalui Jalan Raya Alternatif Cibubur-Cileungsi ke arah Jonggol menuju Cianjur. Sementara dari perempatan Cileungsi, perjalanan dapat ditempuh sekitar satu jam.

Namun, karena minimnya papan penunjuk arah, wartawan koran ini sedikit kesulitan menemukan lokasi penangkaran.

Beruntung, masyarakat sekitar sudah sangat mengenal WWTPR.
Dengan petunjuk dari warga sekitar, lokasi yang dituju akhirnya ditemukan. Sebuah papan kecil bertuliskan “Penangkaran Rusa” menyambut kedatangan wartawan koran ini.

Namun, untuk mencapai loket penjagaan, harus melewati jalan berbatu sekitar seratus meter ke dalam.

Dari loket, kita masih harus melewati jembatan gantung sepanjang 50 meter menyeberangi Sungai Cibeet yang cukup lebar.

Cukup ngeri juga, karena jembatan yang hanya terbuat dari anyaman bambu itu selalu goyang ketika dilintasi orang. Semakin cepat berjalan, semakin kencang goyangannya.

Perjalanan menuju penangkaran dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 200 meter melewati hutan kecil dan lokasi perkemahan.

Ketika sampai di lokasi, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan memasuki terowongan. Tak lama, penangkaran pun terlihat.

Setibanya di lokasi, nampak rusa-rusa tengah beristirahat di bawah rindangnya pepohonan.

Saat ini ada sekitar 64 ekor rusa di WWTPR. Mereka terdiri dari Rusa Jawa (Cervus timorenis), Rusa Bawean (Axis kuhlii) dan beberapa Rusa Totol (Axis axis).

Populasi ini cukup ideal untuk lokasi penangkaran seluas lima hektare," ujar Agus Suprianto (32), asisten pengelola penangkaran. (*)
 


 
Selasa, 31 Agustus 2010 , 12:33:00
 
FOTO BERSAMA: Warga foto bersama dengan salah satu bedil lodong, kemarin.
Di samping unik, bedil lodong juga menyimpan sejarah tersendiri. Permainan ini ternyata sudah turun-temurun dimainkan sejak zaman penjajahan.

Laporan: RICO AFRIDO SIMANJUNTAK

BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Mungkin kalimat itulah yang tepat ditujukan bagi masyarakat Jonggol. Betapa tidak, permainan bedil lodong yang menyimpan segudang sejarah masih dimainkan hingga kini. Kabarnya, tradisi tersebut berawal sejak zaman penjajahan Belanda.

“Bedil lodong sebagai gambaran dari peperangan melawan Belanda,” ujar Deden Murdeni (35), Ketua RW 06, Kampung Jagaita, Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol, kemarin.

Di Desa Jonggol, terangnya, tradisi peperangan bedil lodong dilakukan dua kampung yang dipisahkan oleh Sungai Ciledug. Yakni, Kampung Jagaita dengan Kampung Ciledug, Desa Bendungan. Atau lebih tepatnya di tengah persawahan di RT 02/06, Kampung Jagaita, Desa Jonggol dan RT 03/07 Kampung Ciledug, Desa Bendungan.

Kenapa di sana? Kabarnya, nama kedua kampung tersebut memiliki sejarah tersendiri. “Karena dulunya tentara Belanda berperang melawan negara kita di dua kampung tersebut. Kampung Jagaita dinamakan karena tempat berjaga kita adalah negara Indonesia, sedangkan Kampung Ciledug dinamakan begitu karena dulunya sering terdengar bunyi “bledug-bledug” ketika zaman peperangan,” ungkapnya.

Tradisi bedil lodong tak hanya berlaku bagi warga di dua kampung tersebut. Warga kampung lain atau luar desa juga bisa ikut serta.

“Biasanya tradisi besar-besaran ini dilakukan tiap empat tahun sekali,” ungkapnya. Karena, tambah dia, tak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk memainkannya. “Itu mengapa kita sepakat melakukannya tiap empat tahun sekali,” imbuhnya.

Budaya gotong royong juga tertanam dalam tradisi perang bedil lodong. Dana untuk mendapatkan bahan, seperti karbit dan pinang, dilakukan secara kolektif atau sukarela.

“Tiap tradisi peperangan bedil lodong bisa menghabiskan sekitar Rp600 ribu. Dana tersebut untuk membeli puluhan karbit yang bisa menghasilkan ratusan suara ledakan meriam,” tambahnya.

Suara yang dihasilkan bedil lodong berukuran besar berbeda dengan bedil lodong dari bambu. “Bunyinya bisa terdengar hingga radius lima kilometer,” pungkasnya. (*)
 


 
Senin, 30 Agustus 2010 , 11:16:00
 
Tidak hanya bulan puasa, bedil lodong juga marak dimainkan saat Lebaran. Saat itu, suasana akan meriah oleh dentuman bedil yang terdengar silih berganti.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Masyarakat Kampung Jagaita Desa Jonggol dan Kampung Ciledug Desa Bedungan, rutin mengadakan kegiatan bedil lodong menyambut Ramadan. Tradisi yang sudah hampir punah ini, ternyata cukup ampuh menjadi alternatif pengganti petasan. Peminatnya juga banyak, tidak hanya anak-anak, orang dewasa juga banyak yang memainkannya.

“Selain itu, permainan bedil lodong juga diadakan untuk melestarikan kebudayaan Sunda yang sudah sangat jarang dimainkan. Apalagi oleh anak-anak pada zaman sekarang,” ujar Humas Kecamatan Jonggol, Omin Alyadi, kepada Radar Bogor.

Biasanya, kata dia, permainan bedil lodong dilakukan di tempat terbuka yang jauh dari pemukiman masyarakat. Atau di tengah sawah yang sudah panen. “Soalnya kalau dimainkan dekat pemukiman, pasti akan menganggu,” tuturnya.

Ia menjelaskan, lodong atau meriam bambu ini, salah satu permainan anak-anak yang cukup populer di Desa Jonggol. Karena sangat mengasyikkan, penuh sensasi sekaligus tantangan.

Bedil lodong, terang dia, biasanya dimainkan dua kelompok yang saling berhadapan dengan jarak sekitar 10 meter. Setelah diisi karbit dan ditambah air serta diberi api, suara ledakan akan terdengar. Dan itu menandakan permainan sudah dimulai. “Suara yang paling kencang berarti dia pemenangnya,” kata Omin.

Ia juga menambahkan, untuk anak-anak di bawah umur, pihaknya ikut mengawasi, khawatir terjadi sesuatu. “Namun, sampai saat ini permainan yang dianggap sudah tua itu, tetap menjadi salah satu alternatif kami dalam menyambut dan merayakan bulan suci Ramadan,” tambah Omin.

Pihaknya melihat, permainan bedil lodong merupakan satu bentuk pelestarian kebudayaan Sunda yang sudah mulai punah. Apalagi, permainan tersebut sudah sangat jarang dimainkan anak-anak di Bogor. “Kebanyakan anak-anak sekarang mainnya play station, game online atau facebook. Tapi, warga di sini (Jonggol, red) tidak, mereka ikut serta melestarikan kebudayaan Sunda itu,” jelas Omin.(*)


 
Sabtu, 28 Agustus 2010 , 11:01:00
 
MERIAM TRADISIONAL: Warga tengah membersihkan lubang bedil lodong di Kampung Jagaita, Desa Jonggol, kemarin.
Bedil lodong adalah permainan legendaris yang masih membudaya di daerah Jonggol. Tradisi yang sudah hampir punah ini, ternyata cukup diminati warga, baik anak-anak maupun dewasa. Seperti apa?

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

BERAGAM cara dilakukan untuk menunggu saat berbuka puasa atau sahur.

Di daerah Jonggol, tepatnya di RT 02/06, Kampung Jagaita, Desa Jonggol dan RT 03/07 Kampung Ciledug, Desa Bendungan, warga memiliki tradisi menunggu berbuka, dengan perang bedil atau biasa disebut bedil lodong. Permainan ini ternyata tak hanya diminati anak-anak, juga orang dewasa.

Bedil lodong adalah meriam tradisional yang biasanya terbuat dari bambu dengan panjang kira-kira satu atau 1,5 meter. Bagian dalamnya dibobok hingga berlubang. Yang tersisa cuma penghalang di salah satu ujung. Pada bagian atasnya, dibuat lubang kecil yang berfungsi untuk menyulut bedil dengan api.

Untuk memainkannya tidak susah.Bagian moncong bedil ditaruh agak ke atas. Masukkan sedikit air ke dalam bambu, diikuti sepotong karbit. Lubang sulut ditutup. Beberapa saat kemudian, setelah karbit hancur lubang sulut dibuka dan api didekatkan. Maka, akan terdengar bunyi “Duaaarrr!”

Biasanya, sore hari di bulan puasa, budaya tradisional ini dimainkan. Makin mengasyikkan memang jika suara bedil lodong saling bersahutan. Meski menimbulkan suara menggelegar, sangat jarang terjadi kecelakaan. Berbeda dengan mercon atau petasan yang dulu hingga saat ini, sering menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda. Bedil lodong tergolong mainan yang aman.

Berbeda dengan biasanya, bedil lodong yang ada di daerah Jonggol ukurannya cukup besar. Terbuat dari pohon pinang (jambe) yang bagian dalamnya sudah dibobok. Panjangnya mencapai 3 meter dengan diameter 30 cm. Bisa dibilang bedil lodong yang satu ini cukup legendaris pada masanya. “Biasanya kalau bulan puasa di sini (Jonggol, red), dibunyikan untuk membangunkan orang sahur, dan menunggu waktu berbuka puasa atau ngabuburit,” ujar Deden Murdeni (35) Ketua RW 06, Kampung Jagaita, Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol.(*)


 
Jum'at, 20 Agustus 2010 , 11:20:00
 
BIBIT: Petugas Kebun Anggrek Gunung Geulis sedang merapikan beberapa bibit anggrek.
Jumlah petani anggrek di Indonesia saat ini mencapai dua juta. Namun, keberadaan mereka belum terperhatikan oleh pemerintah. Bahkan, para petani anggrek saat ini banyak mengeluhkan birokrasi dan mahalnya biaya perijinan.
Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

BUKAN hanya kendala teknis, regulasi dan birokrasi juga belum mendukung pengembangan sektor penganggrekan nasional. Sehingga banyak sekali keluhan dari penganggrekan mengenai perizinan. Bahkan, izin usaha untuk mendirikan kebun anggrek pun masih harus menempuh jalan panjang dengan biaya beragam. Menurut Mufidah Kalla, hal ini tentu saja menambah biaya produksi yang akhirnya menjadikan tingginya harga jual bibit maupun anggrek.

Sementara itu, di negara lain kata dia, sebut saja Taiwan, pemerintah mendukung dengan memberikan kemudahan pengurusan izin. Tak sampai satu minggu sudah dapat mengurus izin dengan biaya yang pasti. Bandingkan dengan di Indonesia, butuh waktu minimal lima bulan dengan biaya beragam. “Andaikan proses ini bisa disederhanakan, tentu akan membangkitkan minat para pengusaha yang akan memulai bisnis anggrek,” katanya.

Ia mengatakan, bisnis anggrek masih dipandang sebelah mata. Padahal, lanjutnya, bisnis tersebut berpotensi besar meningkatkan pendapatan petani, lebih luas lagi untuk mendatangkan devisa.

Di Taiwan, anggrek digarap serius. Bahkan Pemerintah Taiwan telah mengalokasikan dana sebesar 300 juta NT pada 2008 untuk mengembangkan anggrek. Tak hanya perizinan yang mudah, Pemerintah Taiwan pun membangun Orchid Bio Tech Park seluas 200 hektare di Tainan. Taman anggrek tersebut bukan semata-semata mengumpulkan plasma nutfah dan indukan anggrek unggulan, tapi juga memanfaatkan bioteknologi untuk mengembangkan anggrek.

“Tidak bermaksud membandingkan, hanya tak ada salahnya jika kita memetik hal yang bagus dari negeri tetangga untuk kemudian diterapkan di negeri ini,” ungkapnya.

Masih berkaitan dengan Taiwan, dia menjelaskan bahwa untuk pembangunan kebun anggrek di Gunung Geulis Bogor, pihaknya hanya dibantu Taiwan. “Bukan kerjasama, saya hanya dibantu oleh Taiwan.

Sudah cita-cita saya dari dulu untuk mengembangkan anggrek, mulai dari bibit. Tujuannya untuk membagi-bagikan kepada petani dengan harga murah,” paparnya.

Mufidah menyebutkan, saat ini kebutuhan bunga anggrek potong mencapai 57 juta tangkai setahun.

“Ekspor kita saat ini 9 juta US dolar, sementara di pasar dalam negeri sekitar dua kali lipat. Ekspornya ke Jepang, China, Singapura dan Korea. Mereka minta ke kita karena belum mencukupi di sana,” papar Mufidah.

Namun, saat ini, lanjut dia, pihaknya belum menghitung berapa harga yang akan diberikan kepada petani, karena kebun tersebut baru saja dibuka.(*)


 
Kamis, 19 Agustus 2010 , 11:04:00
 
PERAWATAN: Petugas kebun sedang menyiram bibit anggrek di Kebun Anggrek Gunung Geulis, kemarin.
Kaum ibu umumnya menyukai tanaman. Seperti halnya Mufidah Kalla yang begitu serius dengan hobinya menanam anggrek. Sampai-sampai, ia mendirikan rumah pembibitan anggrek beserta tempat pembuahannya. Tak tanggung-tangggung, kebun anggreknya itu terbesar di Indonesia.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

KETIKA ditanya alasannya memilih anggrek dan mendirikan kebunnya di Bogor? Mufidah mengaku sudah menyukai anggrek sejak lama. “Melihat anggrek segar sekali. Sejak dulu saya suka sekali. Jenis anggrek yang saya sukai itu anggrek bulan, karena paling bagus. Untuk tempat, karena kebetulan punya tanah di sini (Bogor, red),” katanya.

Menurut dia, pembangunan kebun bibit dan kebun bunga tersebut untuk membantu petani anggrek yang saat ini belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah.

Ia menyebutkan, perkebunan tersebut sementara ini masih merupakan kebun terbesar di Indonesia. Secara keseluruhan total luas lahan kebun bibit anggrek miliknya di kawasan Gunung Geulis itu, mencapai 12 hektare. Sementara untuk luas kebun bunga anggrek mencapai 16 hektare. “Saat ini masing-masing baru 3.000 meter persegi yang terpakai. Tadinya tidak berfungsi, cuma ditanam ubi oleh masyarakat di sini (Gunung Geulis, red),” ucapnya.

Selama ini, menurutnya, bibit yang dikembangkan di masyarakat kebanyakan masih impor. Dan pernah terjadi kerisauan ketika pemerintah menetapkan larangan impor bibit tanaman bubidaya, termasuk anggrek. Sementara, Indonesia belum mampu menghasilkan bibit sendiri. “Bibit impor memang memudahkan pembudidayaan anggrek. Namun, hal itu akan menimbulkan ketergantungan,” tambahnya.

Padahal, lanjut dia, Indonesia punya potensi ragam anggrek yang bisa disilangkan, sekaligus penyilang andal yang bisa menghasilkan silangan anggrek berkualitas tinggi.

Berawal dari kenyataan tersebut kebun anggrek tersebut dibangun. “Impiannya adalah bisa menyediakan bibit unggul untuk petani anggrek di Indonesia, sehingga tak perlu mendatangkan dari luar negeri,” tutur Mufidah.

Dirinya menyadari, langkah tertsebut bukanlah hal yang mudah. Karena ada beberapa kendala yang membutuhkan solusi dan dukungan dari berbagai pihak. Ia mengatakan, kendala teknisnya yakni ketersediaan bibit awal memang masih didatangkan dari luar negeri yakni Taiwan.

Dia menyebutkan, banyak petani yang mengeluh harus mendapatkan bibit dari Taiwan. “Mereka merasa rugi, karena mereka akan jual juga. Untung yang didapat hanya sedikit. Jadi saya usahakan bibit buat petani, saya usahakan lebih murah sekitar 30 persen di bawah harga sebenarnya. Mereka bisa jual lebih mahal dan untung dari situ,” katanya.

Namun, ke depannya ia berharap kebun bibit tersebut mampu menghasilkan silangan sendiri dan diperbanyak untuk memenuhi kebutuhan petani.

Saat ini, total varietas bunga anggrek di kebun anggrek Gunung Geulis mencapai 60 jenis. Sementara, jumlah bibit dalam pot 1,7 inci mencapai sekitar 72.000 dengan berbagai macam varietas atau bunga. Sementara, bibit dalam pot 2,5 inci ada sekitar 8.000. “Mudah-mudahan dalam tiga tahun bisa tercapai. Itu target maksimal kita produksi,” kata Mufidah. (*)


 
Rabu, 18 Agustus 2010 , 11:32:00
 
PEMBIBITAN: Mufidah Kalla memotong tumpeng pada peresmian kebun bibit anggrek Gunung Geulis, Sukaraja, 5 Agustus 2010.
Kebun bibit anggrek dan kebun bunga anggrek terbesar se-Indonesia dikembangkan di Bogor. Kebun bibit berada di Gunung Geulis, Kecamatan Sukaraja, sedangkan kebun bunga anggrek di Citeko, Kecamatan Cisarua. Kedua kebun itu kini resmi beroperasi setelah dibuka Mufidah Jusuf Kalla, 5 Agustus lalu.
Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

PERNAHKAH Anda membayangkan, bagaimana satu pot bunga anggrek bulan dihasilkan? Tanaman yang kelihatannya tak berkayu ini butuh bertahun-tahun untuk tumbuh hingga berbunga. Minimal, empat tahun membungakan dendrobium dan lima tahun untuk anggrek bulan. Bahkan bisa lebih dari itu. Karena ada beberapa proses yang harus dilewati sebuah benih anggrek untuk menjadi bunga.

Mulai dari penyilangan untuk menghasilkan benih, kemudian menyemai menjadi bibit botolan, lantas mengeluarkan dalam bentuk compot (Community pot), memisahkan tanaman dalam bentuk seedling, terakhir membesarkan hingga berbunga.

Nah, semua proses itu dikerjakan di Bogor, yakni di kebun bibit Gunung Geulis dan kebun anggrek Citeko. Masingmasing tahap membutuhkan kondisi dan lingkungan khusus. Untuk pertumbuhan vegetatif (dari benih sampai tanaman dewasa) membutuhkan suhu tak terlalu dingin agar cepat besar. Sedangkan membungakan membutuhkan perbedaan suhu siang dan malam dengan perbedaan mencolok.

“Makanya harus ditempatkan di dataran tinggi. Itulah alasannya mengapa Gunung Geulis dipilih sebagai lokasi kebun bibit untuk botolan hingga tanaman dewasa, dan Citeko sebagai lokasi pembungaan,” ujar Mufidah Kalla, yang juga Perhimpunan Anggrek Indonesia saat peresmian.

Mengenai jenis anggreknya kata Mufidah, dipilih dendrobium dan silangan anggrek bulan (Phalaenopis). Pertimbangannya, kedua marga anggrek tersebut menduduki peringkat atas dalam kuantitas permintaan. “Bisa dikatakan, kedua anggrek itu (dendrobium dan anggrek bulan, red) paling populer di masyarakat. Menyusul Vanda, Catteleya dan Oncidim. Dendrobium dan Phalaenopis digemari karena bunganya yang indah dan harganya terjangkau. Tak heran jika kebutuhan petani anggrek untuk bibit pun tinggi,” papar Mufidah. (*)
 


 
Sabtu, 07 Agustus 2010 , 10:47:00
 
PRODUKSI : Pekerja tengah membuat kompor mitan di bengkel Didih, kemarin.

Sama seperti halnya pengrajin sepatu di Ciomas, permasalahan utama yang kini dihadapi Didih dalam menjalankan usahanya adalah modal. Wajar saja, jika dirinya tertatih-tatih bertahan menjadi pembuat kompor mitan di tengah beratnya tekanan ekonomi.

Laporan:Rico Afrido Simanjuntak

Saat jam istirahat menunjukkan tepat pukul 12:00, bengkel kerja kompor mitan milik Didih di RT 04/04, Kampung Bojong, Desa Tarikolot, Kecamatan Citeureup, terlihat sepi. Di bengkel seluas 60 meterpersegi itu, hanya nampak tumpukan bagian-bagian kompor mitan yang belum terpasang. Ya, ketika jam istirahat, Didih dan empat pekerjanya pulang ke rumah masing-masing untuk mengisi perut.

Setengah jam berlalu, Didih dan empat pekerjanya satu persatu kembali ke bengkel. Dan mereka pun mulai bekerja. Sambil bekerja, Didih menyempatkan diri berbincang-bincang dengan wartawan koran ini.

Ia mengeluhkan kebijakan pemerintah mengenai konversi mitan ke gas. Betapa tidak, sebelum ada kebijakan tersebut, permintaan kompor mitan di pasaran cukup pesat. “Dulu sebelum ada kebijakan konversi itu, sebulan bisa seratus kompor mitan kami produksi, dan semuanya laku di pasaran,” ucap Didih.

Jumlah pekerjanya pun lanjut Didih, masih banyak. “Dulu, di bengkel saya ada 20 pekerja termasuk saya,” imbuhnya. Namun kata dia, sejak ada kebijakan konversi, 15 pekerja terpaksa dikeluarkan. “Sebenarnya tak tega, tapi mau gimana lagi, soalnya belakangan ini penjualan kompor mitan sepi,” katanya.

Bahkan terangnya, hasil karyanya sering dipasarkan ke luar kota seperti Lampung, Kalimantan dan Sumatera. “Tapi itu dulu, sekarang hanya dijual di Pasar Citeureup. Itu pun jarang ada yang beli,” ungkapnya.

Seiring maraknya peristiwa ledakan tabung gas elpiji 3 kg. Permintaan kompor mitan buatannya pun mulai dicari warga. “Satu sisi bisa menguntungkan kami, tapi di sisi lain sedih juga kalau melihat korban ledakan itu,” kata dia.

Untuk itu, dirinya berharap Pemkab Bogor bisa memperhatikan nasib mereka dengan cara meminjamkan modal. Karena sejak awal terjun menekuni usaha pembuatan kompor mitan hingga kini, menurut Didih tak pernah ada perhatian dari pemkab. “Coba, ada modal pinjaman dari pemerintah, pastinya kita tak pusing memikirkan nasib,” pungkasnya. (*)


 
Jum'at, 06 Agustus 2010 , 12:35:00
 
SEMANGAT: Meski sepi orderan, karyawan bengkel kompor mitan Didih tetap semangat bekerja.
Kegigihan Didih mempertahankan usaha pembuatan kompor mitannya, memang patut diacungi jempol. Selain permintaan pasar sangat sedikit, pembuatan kompor mitan pun mengandung risiko.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Tuntunan hidup merupakan alasan kuat mengapa Didih masih bertahan dengan usahanya membuat kompor mitan. “Habis mau gimana lagi, keahlian saya cuma membuat kompor mitan,” ujar Didih, sambil membakar sebatang rokok kreteknya.

Meski tempat kerjanya (bengkel, red) tak terawat, Didih dengan pekerjanya memulai aktivitas membuat kompor mitan seperti “orang kantoran”. “Kami biasa mulai kerja dari pukul 08:00 hingga 16:00. Ya, seperti jam kerja kantoran,” ucapnya.

Menurut dia, diberlakukan jam kerja kantoran bukan karena ingin meniru karyawan kantoran atau pabrik, tapi lebih karena ingin mendisiplinkan pekerjanya.

“Lagi pula enak kok kalau kerja disiplin,” tambahnya. Jam istirahat pun digunakan pekerjanya untuk makan siang dan salat.

Ketika memulai usaha membuat kompor mitan, Didih mengaku banyak pengalaman menarik. “Dulu karena belum terbiasa, awal-awalnya tangan saya pernah tergetok palu sendiri,” ungkapnya sambil tertawa.

Bahkan, dirinya mengaku pernah tergetok palu sendiri sampai lima kali. Tapi hal demikian bukan menjadi hambatan baginya menjalani pekerjaan sebagai pembuat kompor mitan. “Cuma lecet-lecet sedikit tak masalah lah. Yang penting apa yang saya kerjakan itu bisa menghasilkan uang,” imbuhnya.

Ilmu membuat kompor mitan ini ia peroleh dari sang kakak. “Saya bisa membuat kompor mitan karena kakak,” ucapnya. Ketika masih bujangan, dirinya diajari sang kakak yang juga membuka usaha kompor mitan di kawasan Cawang, Jakarta. “Kakak saya bisa membuat kompor mitan dan mengajari saya, karena diajari ayah. Jadi kami bisa dibilang keluarga pembuat kompor mitan,” urainya sambil tertawa lepas seperti tak ada beban.(*)


 
Kamis, 05 Agustus 2010 , 13:00:00
 
BERTAHAN: Pengrajin di bengkel Didih Kampung Bojong, RT 04/04, Desa Tarikolot, Citeureup, sedang membuat kompor mitan.
Kebijakan pemerintah pusat mengonversi minyak tanah (mitan) ke gas, membuat para pengrajin kompor mitan di wilayah Kecamatan Citeureup gulung tikar. Namun, siapa sangka, ada home industry kompor mitan yang masih bertahan hingga kini. Ya, pemiliknya bernama Didih (48), warga Kampung Bojong, RT 04/04, Desa Tarikolot, Kecamatan Citeureup.

Laporan:Rico Afrido Simanjuntak

KEMARIN, wartawan koran ini mendapat tugas liputan di wilayah Citeureup. Ketika menyambangi kawasan Kampung Bojong, RT 04/04, Desa Tarikolot, Kecamatan Citeureup, terdengar keras bunyi seng seperti dipukul-pukul. Setelah ditelusuri, sumber suara ternyata berasal dari sebuah rumah warga tak jauh dari kantor desa.

Di rumah tersebut, nampak lima orang pria dewasa tanpa mengenakan baju, tengah memukul-mukul seng. Ternyata, mereka adalah para pengrajin kompor mitan yang masih bertahan hingga kini, meski pemerintah telah melakukan konversi dari mitan ke gas.

Salah satu dari lima orang pria tersebut adalah pemilik home industry kompor mitan bernama Didih (48) atau dikenal dengan sapaan mang Didih. Sosok bapak tujuh anak itu cukup dikenal di lingkungan Desa Tarikolot. Sehingga, untuk mencapai tempat pembuatan kompor mitan miliknya, cukup bertanya kepada warga di sekitar Jalan Desa Tarikolot.

Mang Didih beserta para pengrajinnya memang patut diberikan apresiasi. Betapa tidak, meski harus banting tulang pagi hingga sore dan jarang sekali ada permintaan kompor mitan, mereka masih bisa tersenyum.

Mang Didih pun mempersilakan wartawan koran ini melihat-lihat bengkelnya yang sederhana. Berada di bengkel berukuran 8 x 6 meter persegi, beralaskan tanah dan tak ada plafon itu, memang cukup panas. Pantas saja para pengrajin tak memakai baju.

Setelah melihat-lihat, mang Didih mulai bercerita tentang perjalanan usahanya membuat kompor mitan. Pada 1980 silam, merupakan awal ia mulai menapaki usaha tersebut. “Awal memulai usaha, saya tak punya modal cukup,” ujar Didih sambil tertawa lepas.

Modal awal diperolehnya dengan cara pinjam uang sanasini. “Pokoknya nekat aja lah. Kalau belum dicoba kan kita tak tahu juga ke depannya seperti apa,” imbuhnya.

Setelah memperoleh pinjaman, ia pun mulai membuka usaha. Perlahan tapi pasti, usahanya terus berkembang hingga tujuh anaknya bisa menyelesaikan sekolah STM dan SMA.

“Biarin saya yang bersusahsusah, yang penting pendidikan anak terjamin. Tidak seperti saya cuma lulusan kelas satu SD,” pungkasnya. (*)



 

 
Kiranya wajar jika Padepokan Mutumanikam Nusantara Indonesia (MMNI) di Desa Cibatutiga, Kampung Cisero, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, menjadi pusat kerajinan perhiasan. Sejumlah fasilitas megah dibangun untuk mendukung proses produksi.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

BERLOKASI di atas bukit yang dikelilingi sawah serta pegunungan, membuat siapa pun betah berlama-lama di Padepokan MMNI. Apalagi, sejumlah fasilitas megah dibangun sehingga menambah keindahan suasana.

Fasilitas tersebut dibangun untuk mendukung proses kegiatan di Padepokan MMNI. Seperti, bangunan bengkel kerja, asrama berkapasitas 60 orang, serta kafe dan galeri seluas 200 meter persegi. Tak hanya itu, lingkungan padepokan juga dilengkapi kebun sayur dan buah, serta ternak ikan yang pengelolaannya melibatkan masyarakat setempat.

Padepokan MMNI dibangun dengan fungsi untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para pengrajin, melalui pemberian standar upah yang layak serta penciptaan lapangan kerja. MMNI juga telah mendaftarkan logo dan namanya sebagai merek dagang dan jasa, pada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelekual (HAKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Memperhatikan kebutuhan di lapangan, MMNI memiliki beberapa program kerja untuk 2010 dan 2011. Di antaranya, program bapak atau ibu angkat bagi pengrajin. Selanjutnya para pengrajin tersebut akan diwadahi dalam koperasi yang akan dibentuk oleh bapak atau ibu angkat dan MMNI. “Hasil produksi para perajin tersebut akan menjadi milik bapak atau ibu angkat, yang bisa digunakan sebagai suvenir perusahaan atau dijual baik di pasar domestik maupun luar negeri,” tutur Ani Yudhoyono, pada sambutan peresmian Padepokan MMNI, 22 Juli lalu.

Program kedua yakni memaksimalkan fungsi bengkel kerja. Bengkel kerja Padepokan MMNI juga terbuka bagi UMKMK, anggota binaan MMNI.

Ketiga yaitu program pengembangan industri pengasahan batu. “Mengingat potensi Indonesia sebagai salah satu sentra batu mulia atau semi mulia, MMNI merencanakan untuk mengembangkan industri pengasahan batu sebagai salah satu program kerjanya,” papar Ani Yudhoyono.

Lalu bagaimana dengan pengembangan area wisatanya? Bekerjasama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, MMNI akan mengembangkan padepokan menjadi area wisata pelajar, masyarakat dan keluarga. Kegiatan wisata yang ada di Padepokan MMNI di antaranya, wisata alam, outbound, tracking, api unggun, memancing, bercocok tanam (berkebun, red), melukis, ceramah agama atau budi pekerti, serta demo membuat kerajinan perhiasan, tenun, sulam dan membatik.

Apalagi, potensi dan keindahan alam Desa Cibatutiga, memang sangat cocok sebagai kawasan tujuan wisata. Terlebih lokasinya relatif dekat dengan ibukota negara. “Kondisi yang potensial itu, menjadikan Desa Cibatutiga menjadi daerah kunjungan wisata baru di Jawa Barat,” ujarnya. (*)
 
 

 


 

 
Menginjak usia 3,5 tahun sejak pembentukannya, berbagai kegiatan rutin seperti pelatihan dan pemasaran, dilaksanakan secara efektif dan konsisten oleh Padepokan Mutumanikam Nusantara Indonesia (MMNI). Sehingga keberadaannya pun cukup dikenal masyarakat.

Laporan: Rico Afrido Simanjuntak

Sebelum resmi dibuka pada 22 Juli lalu, Pendopo MMNI di Desa Cibatutiga, Kampung Cisero, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, sudah dua kali menjadi tempat pelatihan bagi pengrajin perhiasan. 

Pertama pada Mei 2007. Diadakan pelatihan desain yang diikuti seratus pengrajin perhiasan dari Bali dan Jogjakarta dengan instruktur Mr Patrick Descamps dari galeri Wolfers, Belgia. Galeri tersebut membuat mahkota, kalung dan cincin kawin ratu Belgia.

Dan baru-baru ini, setelah peresmian 22 Juli lalu, dilaksanakan pelatihan yang diikuti 30 pengrajin dari Bali, Cirebon dan Sukabumi hingga 26 Juli mendatang. Pelatihan kali ini, mengundang instruktur dari Spanyol, yakni Sekjen Asosiasi Pengrajin Perhiasan dan Pembuat Jam Madrid, Armando Rodriguez Ocana.

Selebihnya, MMNI mengadakan kegiatan di luar pendopo. Di antaranya, membantu pelatihan 200 perajin di Jambi yang diselenggarakan oleh Dekranasda Jambi pada Juli 2007, serta pelatihan casting untuk 25 perajin dari Jawa Timur, Yogyakarta dan Bali.

Yang cukup membanggakan, MMNI pernah bekerjasama dengan Profesional Association of Jewelry Silvermen dan clockmakers of Madrid Spanyol, menyelenggarakan pelatihan "Pengembangan Desain Produk dan Strategi Pemasaran Perhiasan", dibengkel Kerja MMNI di Desa Cibatutiga, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor yang diikuti 70 peserta.

Untuk pemasaran, MMNI menyalurkannya melalui berbagai pameran baik di kancah internasional maupun dalam negeri, seperti pameran di Mumbai India dan di London pada April 2007, dan di Los Angeles, Washington DC New York, Juni 2007. Sementara pameran di dalam negeri di antaranya, pameran Semanggi Expo 2006, Musium Nasional 2007 dan Jakarta Convention Center pada 2008 dan 2009.

Sementara itu, Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono dalam sambutannya ketika peresmian pendopo Mutumanikam Nusantara Indonesia Kamis (22/7) berharap agar, para perajin bisa mendapatkan pengetahuan lebih tentang teknik membuat perhiasan melalui berbagai kegiatan pelatihan yang diadakan MMNI. “Saya yakin, desain dan kualitas Mutumanikam Indonesia akan terus membaik dari waktu ke waktu. Sehingga semakin diminati dan dapat bersaing di pasar global,” jelasnya. (*)